Kamis, 28 Mei 2009

Poem, poem, poem

Ini adalah pusi berbahasa Jerman yang (entah diciptakan sendiri atau bagaimana, yang jelas diberikan pada satu pertemuan)oleh guru Bahasa Jerman kami semasa SMA, beliau bernama Herr Arief...check this out!!

Jatuh Cinta

Ich Liebe dich
Ich brauche dich so sehr
Bald, vielleicht schon monger, bin ich bei dir
Wir gehen dann nie wieder nausenden der
Liebst du mich auch wirklich?
Ohne dich bin ich nicht gl
ucklich
Vergiss mich nicht
Ich danke nur an dich




Patah Hati

Es ist aus
Ich brauche
dic nicht mehr
Helene ist meine Traumfrau
Ich denke nur an sie tag und Nacht
Wor lieben uns sehr
Das ist mein Leben
Vergiss mich

Trauriger Abzahlreim
*)Ich liebe dich
Du liebst mich nicht
Ich bin die Nacht
Du bist das Licht
Ich bin der Schmerz
Du bist das Gluck
Drum schaue nie zu mir zuruck
Ich weiss und fohl es bitterlich
Du liebst mich nicht
Ich liebe dich



*) baca bagian ini dengan nada lagu Ratu-Dear Diary,,cocok juga..(untuk lebih pastinya,,daripada anda bersenandung gak jelass,,mending hubungi salah satu manismanja),,hihihihihi. Bravo Herr Arief!!

Profil Sastrawan : Pramoedya Ananta Toer

Dihargai Dunia, Dipenjara di Negeri Sendiri

Ia bagaikan potret seorang nabi, yang dihargai oleh bangsa lain tetapi dibenci di negerinya sendiri. Pramoedya Ananta Toer, seorang pengarang yang pantas menjadi calon pemenang Nobel. Ia telah menghasilkan belasan buku baik kumpulan cerpen maupun novel. Kenyang dengan berbagai pengalaman berupa perampasan hak dan kebebasan. Ia banyak menghabiskan hidupnya di balik terali penjara, baik pada zaman revolusi kemerdekaan, zaman pemerintahan Soekarno, maupun era pemerintahan Soeharto.

Di zaman revolusi kemerdekaan ia dipenjara di Bukit Duri Jakarta (1947-1949), dijebloskan lagi ke penjara di zaman pemerintahan Soekarno karena buku Hoakiau di Indonesia, yang menentang peraturan yang mendiskriminasi keturunan Tionghoa.

Setelah pecah G30S-PKI, Pramoedya yang anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat - onderbouw Partai Komunis Indonesia - ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru sampai tahun 1979. Siksaan dan kekerasan adalah bagian hari-harinya di tahanan dan terpaksa kehilangan sebagian pendengarannya, karena kepalanya dihajar popor bedil.

Setelah bebas pun, Pramoedya dijadikan tahanan rumah dan masih menjalani wajib lapor setiap minggu di instansi militer. Meskipun ia sudah ‘bebas’, hak-hak sipilnya terus dibrangus, dan buku-bukunya banyak yang dilarang beredar terutama di era Soeharto. Pemerintah telah mengambil tahun-tahun terbaik dalam hidupnya, pendengarannya, papernya, rumahnya dan tulisan-tulisannya.

Ia dilahirkan di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 oleh seorang ibu yang memberikan pengaruh kuat dalam pertumbuhannya sebagai individu. Pramoedya mengatakan bahwa semua yang tertulis dalam bukunya teinspirasi oleh ibunya. Karakter kuat seorang perempuan dalam karangan fiksinya didasarkan pada ibunya, “seorang pribadi yang tak ternilai, api yang menyala begitu terang tanpa meninggalkan abu sedikitpun’. Ketika Pramoedya melihat kembali ke masa lalu, ia melihat “revolusi Indonesia diwujudkan dalam bentuk tubuh perempuan – ibunya. Meskipun karakter ibunya kuat, fisik ibunya menjadi lemah karena TBC dan meninggal pada umur 34 tahun, waktu itu Pramoedya masih berumur 17 tahun.

Setelah ibunya meninggal, Pramoedya dan adiknya meninggalkan rumah keluarga lalu menetap di Jakarta. Pramoedya masuk ke Radio Vakschool, di sini ia dilatih menjadi operator radio yang ia ikuti hingga selesai, namun ketika Jepang datang menduduki, ia tidak pernah menerima sertifikat kelulusannya. Pramoedya bersekolah hingga kelas 2 di Taman Dewasa, sambil bekerja di Kantor Berita Jepang Domei. Ia belajar mengetik lalu bekerja sebagai stenografer, lalu jurnalis.

Ketika tentara Indonesia berperang melawan koloni Belanda, tahun 1945 ia bergabung dengan para nasionalis, bekerja di sebuah radio dan membuat sebuah majalah berbahasa Indonesia sebelum ia akhirnya ditangkap dan ditahan oleh Belanda tahun 1947. Ia menulis novel pertamanya, Perburuan (1950), selama dua tahun di penjara Belanda (1947-1949).

Setelah Indonesia merdeka, tahun 1949, Pramoedya menghasilkan beberapa novel dan cerita singkat yang membangun reputasinya. Novel Keluarga Gerilya (1950) menceritakan sejarah tentang konsekuensi tragis dari menduanya simpati politik dalam keluarga Jawa selama revolusi melawan pemerintahan Belanda.


Cerita-cerita singkat yang dikumpulkan dalam Subuh (1950) dan Pertjikan Revolusi (1950) ditulis semasa revolusi, sementara Tjerita dari Blora (1952) menggambarkan kehidupan daerah Jawa ketika Belanda masih memerintah. Sketsa dalam Tjerita dari Djakarta (1957) menelaah ketegangan dan ketidakadilan yang Pramoedya rasakan dalam masyarakat Indonesia setelah merdeka. Dalam karya-karya awalnya ini, Pramoedya mengembangkan gaya prosa yang kaya akan bahasa Jawa sehari-hari dan gambar-gambar dari budaya Jawa Klasik.

Di awal tahun 50-an, ia bekerja sebagai editor di Departemen Literatur Modern Balai Pustaka. Di akhir tahun 1950, Pramoedya bersimpati kepada PKI, dan setelah tahun 1958 ia ditentang karena tulisan-tulisan dan kritik kulturalnya yang berpandangan kiri. Tahun 1962, ia dekat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat yang disponsori oleh PKI yang kemudian dicap sebagai organisasi “onderbow” atau “mantel” PKI.

Di Lekra ia menjadi anggota pleno lalu diangkat menjadi wakil ketua Lembaga Sastra, dan menjadi salah seorang pendiri Akademi Multatuli, semua disponsori oleh LEKRA. Pramoedya mengaku bangga mendapat kehormatan seperti itu, meskipun sekiranya Lekra memang benar merupakan organisasi mantel PKI.

Kemudian terjadi peristiwa rasial anti-Tionghoa semasa Indonesia telah merdeka, formal oleh negara, dalam bentuk PP 10 -1960. Buku Hoakiau di Indonesia yang diluncurkan sekarang ini, pertama diterbitkan oleh Bintang Press, 1960, merupakan reaksi atas PP 10 tersebut. Peraturan Pemerintah nomor 10 ini kemudian berbuntut panjang dengan terjadinya tindakan rasial di Jawa Barat pada 1963, yang dilakukan oleh militer Angkatan Darat. Karena buku ini pula ia dijebloskan lagi ke penjara di zaman pemerintahan Soekarno.

Setelah keluar dari penjara karena soal Hoakiau itu, Profesor Tjan Tjun Sin memintanya “mengajar” di Fakultas Sastra Universitas Res Publica milik Baperki, yang sekarang diubah namanya menjadi Universitas Trisaksi yang kini bukan lagi milik Baperki. Ajakan ini sempat membuatnya merasa tidak enak karena SMP saja ia tidak lulus dan belum punya pengalaman dalam mengajar. Meskipun begitu, Pramoedya mengaku menggunakan caranya sendiri. Setiap mahasiswa ia wajibkan mempelajari satu tahun koran, sejak awal abad ini. Setiap tahun ada sekitar 28 mahasiswa yang ia beri tugas itu, sehingga Perpustakaan Nasional menjadi penuh dengan mahasiswanya.

Dari para mahasiswa-mahasiswi yang sebagian terbesar WNI keturunan Tionghoa, ia menerima sejumlah informasi tentang perlakuan pihak militer terhadap keluarga mereka yang tinggal di Jawa Barat. Ternyata rasialisme formal ini ditempa oleh beberapa orang dari kalangan elit OrBa untuk meranjau hubungan antara RI dengan RRC, yang jelas, sadar atau tidak, menjadi sempalan perang-dingin yang menguntungkan pihak Barat.

Di tahun 1965-an, Suharto memimpin setelah mengambil alih pemerintahan yang didukung oleh Amerika yang tidak suka Sukarno bersekutu dengan Cina. Mengikuti cara Amerika, Suharto mulai membersihkan komunis dan semua orang yang berafiliasi dengan komunis. Suharto memerintahkan hukuman massal, tekanan masal dan memulai Rezim Orde Baru yang dikuasai oleh militer. Akibatnya, ia ikut dipenjara setelah kudeta yang dilakukan komunis tahun 1965.

Meskipun Pramoedya tidak pernah menjadi anggota PKI, ia dipenjara selama 15 tahun karena beberapa alasan: pertama, karena dukungannya kepada Sukarno, kedua, karena kritikannya terhadap pemerintahan Soekarno, khususnya ketika tahun 1959 dikeluarkan dekrit yang menyatakan tidak diperbolehkannya pedagang Cina untuk melakukan bisnis di beberapa daerah. Ketiga, karena artikelnya yang dikumpulkan menjadi sebuah buku berjudul HoaKiau di Indonesia. Dalam buku ini, ia mengkritik cara tentara dalam menangani masalah yang berkaitan dengan etnis Tionghoa. Pemerintah membuat skenario ‘asimilasi budaya’ dengan menghapus budaya Cina. Sekolah-sekolah Cina ditutup, buku-buku Cina dibredel, dan perayaan tahun Baru Cina dilarang.

Pada masa awal di penjara, ia diijinkan untuk mengunjungi keluarga dan diberikan hak-hak tertentu sebagai tahanan. Di masa ini, ia dan teman penjaranya diberikan berbagai pekerjaan yang berat. Hasil tulisan-tulisannya diambil darinya, dimusnahkan atau hilang. Tanpa pena dan kertas, ia mengarang berbagai cerita kepada teman penjaranya di malam hari untuk mendorong semangat juang mereka.

Pada tahun 1972, saat di penjara, Pramoedya ”terpaksa” diperbolehkan oleh rezim Soeharto untuk tetap menulis di penjara. Setelah akhirnya memperoleh pena dan kertas, Pramoedya bisa menulis kembali apalagi ada tahanan lain yang menggantikan pekerjaannya. Selama dalam penjara (1965-1979) ia menulis 4 rangkaian novel sejarah yang kemudian semakin mengukuhkan reputasinya.

Dua di antaranya adalah Bumi Manusia (1980) dan Anak Semua Bangsa (1980), mendapat perhatian dan kritikan setelah diterbitkan, dan pemerintah membredelnya, dua volume lainnya dari tetralogi ini, Jejak Langkah dan Rumah Kaca terpaksa dipublikasikan di luar negeri.

Karya ini menggambarkan secara komprehensif tentang masyarakat Jawa ketika Belanda masih memerintah di awal abad 20. Sebagai perbandingan dengan karya awalnya, karya terakhirnya ini ditulis dengan gaya bahasa naratif yang sederhana. Sementara itu, enam buku lainnya disita oleh pemerintah dan hilang untuk selamanya.

Beberapa tahun setelah dibebaskan tahun 1969, Pramoedya dijadikan tahanan rumah dan harus melapor setiap minggu kepada militer. Pemerintah telah mengambil tahun-tahun terbaik dalam hidupnya, pendengarannya, papernya, rumahnya dan tulisan-tulisannya.

Sebenarnya semenjak tahun 1960-an, minatnya yang besar pada sejarah membuatnya suka mengumpulkan berbagai artikel atau tulisan dari berbagai koran yang kemudian diklipping-nya.

Kini belasan bukunya sudah diterjemahkan lebih dari 30 puluh bahasa termasuk Belanda, Jerman, Jepang, Rusia dan Inggris. Karena prestasinya inilah ia dianggap sebagai orang yang paling berpengaruh di Asia (selain Iwan Fals dari Indonesia) versi majalah Time dan telah memperoleh berrbagai penghargaan seperti PEN Freedom-to-Write Award, Wertheim Award dari Belanda, serta Ramon Magsaysay Award (dinilai dengan brilyan menonjolkan kebangkitan dan pengalaman moderen rakyat Indonesia).

Novel-novel sejarah yang dibuat oleh Pramoedya mengungkap sejarah yang tidak tercatat dalam buku-buku sejarah, yang kebanyakan jauh dari kenyataan. Seperti Nelson Mandela, ia menolak untuk memaafkan pemerintah yang telah mengambil banyak hal dalam kehidupannya. Ia khawatir bila ia mudah memaafkan, sejarah akan segera dilupakan. Ia menekankan pentingnya mengetahui sejarah seseorang sehingga orang lain tidak mengulangi kesalahan yang sama di tahun-tahun yang akan datang.

Pramoedya juga menyukai karya sastrawan lain seperti Leo Tolstoy, Anton Chekov, atau John Steinbeck. Kekagumannya pada gaya bercerita Steinbeck yang detail juga mempengaruhinya dalam menulis. Namun, Pramoedya tidak suka dengan karya Ernest Hemingway, yang dianggapnya tidak manusiawi.

Selain membuat novel, ternyata Pramoedya, pengagum peraih Nobel, Gunter Grass ini, pernah juga menyusun syair-syair puisi. ”Tapi saya sudah mulai bosan dengan perasaan,” kata anak Kepala Sekolah Instituut Boedi Oetomo, Blora. Karena itu, dia hanya membuat novel yang rasional, dan sama sekali tak menyukai sastra yang bergaya irasional.

Kini, Pram di usianya yang ke 78 tahun mengaku sudah makin kepayahan. Mencangkul yang dulu bisa dia lakukan enam hingga delapan jam hanya bisa dua jam saja. Bahkan pernah, selama dua tahun, Pram sama sekali tidak bisa mengangkat benda apa pun. Itu mulai dia sadari saat hujan datang, ketika dia masih mencangkul di kebun. Dia hanya ingin bersunyi-sunyi di kediamannya, beternak dan berkebun sembari mengenang masa lalunya di Blora, di daerah bagian kelompok masyarakat Samin yang dikenal antiperaturan kolonialis.

Dia bahkan sudah tidak menulis novel lagi dan hanya sekali-sekali menulis essai. Dalam hidupnya di tengah-tengah sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan kelas, Pramoedya masih meneruskan perjuangannya menuntut tidak hanya kebebasan menulis tetapi juga kebebasan membaca. Sekarang buku-bukunya tidak lagi dibredel, dan dapat dilihat di rak-rak buku setiap toko buku dan perpustakaan di seluruh Indonesia.

Tahun 2002, bersama musisi Iwan Fals dan Pramoedia Ananta Toer juga dinobatkan majalah Time Asia sebagai "Asian Heroes".

Sekarang sang Pujangga telah berpulang. Pramoedya Ananta Toer meninggal dunia Minggu 30 April 2006 sekitar pukul 08.30 WIB di rumahnya Jl Multikarya II No.26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Sang Pujangga kelahiran Blora 6 Februari 1925 yang dipanggil Pram dan terkenal dengan karya Tetralogi Bumi Manusia, itu dimakamkan di TPU Karet Bivak pukul 15.00, Minggu 30/4. Lagu Darah Juang mengiringi prosesi pemakamannya yang dinyanyikan oleh para pengagum dan pelayat.

Sebelumnya, dia dirawat di ICU RS St Carolus Jakarta. Kemudian sejak Sabtu sekitar pukul 19.00 WIB dia meminta pulang dan dokter mengizinkan. Sastrawan yang oleh dunia internasional, sebagaimana ditulis Los Angeles Time, sering dijuluki Albert Camus Indonesia itu termasuk dalam 100 pengarang dunia yang karyanya harus dibaca sejajar dengan John Steinbejk, Graham Greene dan Bertolt Berecht.

Profil Pram juga pernah ditulis di New Yorker, The New York Time dan banyak publikasi dunia lainnya. Karya-karyanya juga sudah diterjemahkan dalam lebih dari 36 bahasa asing termasuk bahasa Yunani, Tagalok dan Mahalayam.



Must Read Book : novel-novel Tetralogi Pulau Buru by Pramoedya Ananta Toer















Tetralogi Buru

Tetralogi Buru atau Tetralogi Pulau Buru atau Tetralogi Bumi Manusia adalah nama untuk empat novel karya Pramoedya Ananta Toer yang terbit dari tahun 1980 hingga 1988 dan kemudian dilarang peredarannya oleh Jaksa Agung Indonesia selama beberapa masa.

Tetralogi Buru ini mengungkapkan sejarah keterbentukan Nasionalisme pada awal Kebangkitan Nasional, dan pengukuhan atas seorang yang bernama Tirto Adhi Soerjo yang digambarkan sebagai tokoh Minke.


Sejarah

Tahun 1973 Pramoedya yang ditahan di Pulau Buru diberi sedikit keleluasaan untuk melanjutkan kerja kreatif. Hasrat lama untuk menyusun siklus sejarah Indonesia dalam bentuk cerita pun kembali ditekuninya. Dengan bahan yang serba terbatas ia mulai menceritakan jilid pertama Bumi Manusia kepada tahanan yang lain di sawah-ladang maupun barak penampungan. Baru dua tahun kemudian ia mulai menulis atas jasa beberapa tahanan yang memperbaiki dan menyerahkan mesin tik tua Royal 440 untuknya.

Bulan April 1980 selepas dari tahanan, Hasjim Rachman, mantan pemimpin redaksi Bintang Timur, dan Pramoedya menemui Joesoef Isak, mantan wartawan Merdeka yang belasan tahun mendekam di Rutan Salemba. Diskusi berkembang, dan kesepakatan dicapai untuk menerbitkan karya eks-tapol yang selama ini tidak mendapat sambutan dari penerbit lain.

Naskah pertama terpilih untuk diterbitkan adalah Bumi Manusia. Pramoedya kembali bekerja keras memilah tumpukan kertas doorslag yang berhasil diselamatkannya dari Pulau Buru. Hampir semua naskah aslinya ditahan oleh petugas penjara dan sampai tidak pernah dikembalikan. Dalam waktu tiga bulan ia berhasil menyalin kembali dan merajut tumpukan kertas lusuh yang dimakan cuaca menjadi naskah buku. Sementara itu, Hasjim dan Joesoef berkeliling menemui beberapa pejabat pemerintah, termasuk wakil presiden Adam Malik, yang ternyata memberikan sambutan baik.

Awal Juli 1980 naskah Bumi Manusia dikirim ke percetakan Aga Press dengan harapan terbit menjelang peringatan Proklamasi. Cetakan pertama keluar tanggal 25 Agustus 1980.


Tetralogi

Keempat cerita tersebut dibacakan secara lisan kepada tahanan-tahanan lain semasa Pramoedya diasingkan di Pulau Buru oleh pemerintah Indonesia antara tahun 1965-1979. Setelah Pramoedya bebas, dia menerbitkan keempat cerita tersebut dalam bentuk novel yang kemudian dilarang peredarannya tak lama setelah diterbitkan. Pemerintah Indonesia menuduh bahwa karya-karyanya mengandung pesan Marxisme-Leninisme yang dianggap tersirat dalam kisah-kisahnya.

Keempat buku tersebut adalah (disertai tahun penerbitan dan pelarangan; semuanya diterbitkan Hasta Mitra):

Ketiga karya terakhir ini bahkan langsung dilarang oleh Kejaksaan Agung hanya 1-2 bulan setelah terbit.

Di luar negeri, Tetralogi Buru diterbitkan dengan nama The Buru Quartet. Penerjemah Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa ke dalam bahasa Inggris, Max Lane, yang sejak April 1980 bertugas sebagai pegawai di Kedubes Australia di Jakarta, harus dikembalikan ke negaranya pada September 1981 karena menerjemahkan kedua buku tersebut. Karya itu diterjemahkan ke bahasa Rusia pada tahun 1986 oleh E. Rudenko dengan kata pengantar oleh V. Sikorsky (judulnya "Mir Chelovechesky") dan diterbitkan oleh badan penerbit "Progress".


Sinopsis

Tetralogi kisah pergerakan kebangkitan nasional Indonesia antara 1898-1918, ini bercerita tentang kehidupan Minke, putra seorang bupati yang memperoleh pendidikan Belanda pada masa pergantian abad ke-19 ke abad ke-20. Latar utama tetralogi ini terjadi pada masa awal abad ke-20, tepatnya tahun 1900 ketika tokoh utamanya, Raden Mas Minke lahir. Nama Minke adalah nama samaran dari seorang tokoh pers generasi awal Indonesia yakni Raden Tirto Adhi Soerjo. Cerita novel ini sebenarnya ada unsur sejarahnya, termasuk biografi RTAS tersebut yang juga nenek moyang penulis. Cerita lainnya diambil dari berbagai rekaman peristiwa yang terjadi pada lingkup waktu tersebut. Termasuk di antaranya rekaman pengadilan pertama pribumi Indonesia (Nyai Ontosoroh) melawan keluarga suaminya seorang warga Belanda totok yang terjadi di Surabaya.

Rabu, 27 Mei 2009

manis_manja in action!

Ini poto kita pas lagi ada parade hitam di kampus (jiahh,,black parade),,yang nongol di belakang itu bernama Hendro (kalau siang) a.k.a. Heni (kalau malam)..hahahahahaha..
Sebenarnya sih kita pas itu lagi kumus-kumus,,tapi toh tetep cerah ceria (kesalahan bukan ada pada mata anda)




Ini poto kita pas lagi nunggu dosen di kelas..kepada Bapak dan Ibu Dosen yang terhormat,,jangan biarkan kami menunggu,,karena seperti kata Ribas "menunggu ternyata menyakitkan"




Poto ini kita ambi pas lagi kongkow di koridor,,sambil denger musik Jason Mraz ft. Colbie Caillat-Lucky,,dan Echa membawa benda tersakral bagi seluruh mahasiswa Bahasa Inggris=>Betty Azhar,, buku tersakral buat Disna.. soalnya sampe sekarang Disna masih mengemis rupiah untuk membelinya,, bagi yang berminat menyumbang hubungi "manismanjagirls" di toko kaset dangdut terdekat!!



NOTICE!!
PERHATIKAN EKSPRESI NAYU...SELALU SAMA DI SETIAP POTO
KAMI MASIH MEMPUNYAI BANYAK STOK POTO SEPERTI ITU..
"DENGAN EKSPRESI YANG SAMA"
BILA INGIN BUKTI, HUB : MANISMANJA




*no offense, just kidding, just for laugh



Selasa, 26 Mei 2009

Must Read Book : The Alchemyst by Michael Scott

Author Michael Scott
Country United States Flag of the United States United Kingdom Flag of the United Kingdom
Language English
Genre(s) Fantasy, Thriller, Fiction, Mythology
Publisher Random House (U.S.) Random House (U.K)
Publication date 22 May 2007 (U.S)
Media type print (hardback)
Pages 375 p. (U.S. hardback)
ISBN ISBN 978-0385733571 (U.S.)
Followed by The Magician: The Secrets of the Immortal Nicholas Flamel

Plot Summary

When the necromancer and immortal magician Dr. John Dee steals the ancient book the Codex from its keeper, Nicholas Flamel, two teenagers named Sophie and Josh Newman are caught up in the danger and magic. Dee also captures Nicholas Flamel's wife, Perenelle. Flamel takes the twins to a magical warrior Next Generation Elder (who is 2,517 years old) named Scathach, who travels with them to another Elder's shadowrealm. This Elder is known as Hekate and has remarkable magical power. Hekate is over 10,000 years old.

Sophie and Josh are working at a bookstore and a cafe when Dee comes for the Codex. Here, they witness Nicholas and Perenelle using magic, and discover that Nicholas is not a bookseller, but is indeed an ancient alchemyst being kept alive by making the elixir of life (a secret from the Codex) for him and Perenelle. He can use magic. He needs the Codex back to make the elixir of life again, or he and Perenelle will die before the month's end. Also, if Nicholas does not retrieve the Codex, Dee will summon the Dark Elders to destroy the world and return to an age in which humans are but slaves and food.

Flamel quickly takes them to a Dojo to enlist the aid of Scathach, an extremely powerful ally. Dee assaults the Dojo, but is thwarted by Flamel and Scathach. Flamel then leads the twins and Scathach to attempt to secure the aid of Hekate, who can awaken the twins' magical potential. Dee discovers this, and enlists the aid of Bastet, and Morrigan. The trio mount a massive assault on Hekate's shadowrealm, attempting to destroy the Yggdrasill that is the heart of Hekate's power.

While the Yggdrasill is attacked, Hekate Awakens Sophie; she does not Awaken Josh, as the Yggdrasill is then lit on fire and she rushes to defend her home. After a long, grueling battle, Scathach clears a path for the twins and Flamel. While escaping, they encounter Dee, and witness the power of the ancient sword known as Excalibur, which he draws. They see him transform a wereboar into pure ice, then shatter the statue. Flamel remarks that he thought that Excalibur had been lost when Artorius died.

The twins, Scathach, and Flamel escape the shadowrealm rapidly after, shortly before the destruction of Hekate, the Yggdrasill, and the entire shadowrealm. As they escape, Dee uses Excaliber to freeze the Yggdrasill, and Hekate, whose life and power is linked to the tree, transforms to ice as it does. As this occurs, Dee is informed that Flamel and Scathach have escaped with the twins. In his rage, he shatters the Yggdrasill, which crushes Hekate into dust, killing her. At this point, they travel to Scathach's grandmother, the Witch of Endor (also called "The Mistress of Air"), who teaches Sophie her magical secrets.

While they are there, Dee has found out that the prophecy in the Codex speaks of Sophie and Josh. He tempts Josh to join him, while practicing necromancy and raising thousands of corpses to assault the Elders and Sophie with. Josh almost agrees, but at the last moment he realizes he will lose Sophie if he agrees, and distracts the necromancer long enough to escape with Scathach, Sophie and Nicholas using a leygate (where lines of energy, or ley lines on the globe cross) to escape to Paris, where the book ends. The book ends with the conclusion that the Witch has survived and Dee is still searching, leaving the book with a cliffhanger.


Book of Abraham

Also called the Codex, The Alchemyst centers around a prophecy in the Book of Abraham. The Book of Abraham is an actual book, but the prophecies described in the The Alchemyst are the fictional work of Michael Scott. The prophecies describe the return of the Elders - a race of magically powerful beings that seek to return to power and rule the Earth - and contains a spell that will achieve just that. Nicholas Flamel is the protector of this book and seeks to ensure the Elders never get their hands on it. When attacked by John Dee, the book is stolen. Luckily, Josh Newman manages to rip the two most important pages from the book - the Final Summoning, the one spell to summon the Dark Elders to take back Earth, and possibly raise Danu Talis (Atlantis) up from the waves.

Also contained in the Book of Abraham are the secrets of immortality and the philosopher's stone. The secret of immortality is held on page 7, according to Michael Scott. It is believed that Nicholas Flamel learned the secrets of the Philosopher's stone from the Book of Abraham in 1382.

Scott could also be refering to the The Book of Abramelin, a book that refers is of magic.

Our First Entry! Friendship Poem

A Friend's Greeting

I'd like to be the sort of friend that
you have been to me;
I'd like to be the help that
you've been always glad to be;

I'd like to mean as much to you
each minute of the day
As you have meant, old friend of mine,
to me along the way.

I'd like to do the big things and
the splendid things for you,
To brush the gray from out your skies
and leave them only blue;

I'd like to say the kindly things that
I so oft have heard,
And feel that I could rouse your soul
the way that mine you've stirred.

I'd like to give you back the joy
that you have given me,
Yet that were wishing you a need
I hope will never be;

I'd like to make you feel as rich as I,
who travel on
Undaunted in the darkest hours with you to
lean upon.

I'm wishing at this time that I
could but repay
A portion of the gladness that
you've strewn along my way;

And could I have one wish this year,
this only would it be:
I'd like to be the sort of friend
that you have been to me.

- Edgar A Guest -